Tema Jin, Setan, dan Iblis masih menyisakan kontroversi hingga kini.
Namun yang jelas, eksistensi mereka diakui dalam syariat. Sehingga, jika
masih ada dari kalangan muslim yang meragukan keberadaan mereka,
teramat pantas jika diragukan keimanannya.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus nabi kita
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan risalah yang umum dan
menyeluruh. Tidak hanya untuk kalangan Arab saja namun juga untuk selain
Arab. Tidak khusus bagi kaumnya saja, namun bagi umat seluruhnya.
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutusnya kepada segenap
Ats-Tsaqalain: jin dan manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ
“Katakanlah: `Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (Al-A’raf: 158)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Adalah para nabi itu diutus kepada kaumnya sedang aku diutus kepada
seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah
radhiallahu ‘anhuma)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَإِذْ
صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِّنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ
فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ
قَوْمِهِم مُّنذِرِينَ
قَالُوا
يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنزِلَ مِن بَعْدِ مُوسَىٰ
مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ
طَرِيقٍ مُّسْتَقِيمٍ
يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
وَمَن
لَّا يُجِبْ دَاعِيَ اللَّهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي الْأَرْضِ وَلَيْسَ
لَهُ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءُ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan sekumpulan jin kepadamu yang
mendengarkan Al-Qur`an. Maka ketika mereka menghadiri pembacaannya lalu
mereka berkata: `Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)’. Ketika pembacaan
telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi
peringatan. Mereka berkata: `Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah
mendengarkan kitab (Al-Qur`an) yang telah diturunkan setelah Musa, yang
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran
dan jalan yang lurus. Wahai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang
menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan
mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan
orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, maka
dia tidak akan lepas dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya
pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata’.”
(Al-Ahqaf: 29-32)
Jin Diciptakan Sebelum Manusia
Tak ada satupun dari golongan kaum muslimin yang mengingkari
keberadaan jin. Demikian pula mayoritas kaum kuffar meyakini
keberadaannya. Ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani pun mengakui
eksistensinya sebagaimana pengakuan kaum muslimin, meski ada sebagian
kecil dari mereka yang mengingkarinya. Sebagaimana ada pula diantara
kaum muslimin yang mengingkarinya yakni dari kalangan orang bodoh dan
sebagian Mu’tazilah.
Jelasnya, keberadaan jin merupakan hal yang tak dapat disangkal lagi
mengingat pemberitaan dari para nabi sudah sangat mutawatir dan
diketahui orang banyak. Secara pasti, kaum jin adalah makhluk hidup,
berakal dan mereka melakukan segala sesuatu dengan kehendak. Bahkan
mereka dibebani perintah dan larangan, hanya saja mereka tidak memiliki
sifat dan tabiat seperti yang ada pada manusia atau selainnya. (Idhahu
Ad-Dilalah fi ’Umumi Ar-Risalah hal. 1, lihat Majmu’ul Fatawa, 19/9)
Anehnya orang-orang filsafat masih mengingkari keberadaan jin. Dan dalam
hal inipun Muhammad Rasyid Ridha telah keliru. Dia mengatakan:
“Sesungguhnya jin itu hanyalah ungkapan/ gambaran tentang
bakteri-bakteri. Karena ia tidak dapat dilihat kecuali dengan perantara
mikroskop.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah minal Jin oleh Asy-Syaikh Muqbil
bin Hadi rahimahullahu)
Jin lebih dahulu diciptakan daripada manusia sebagaimana dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَإٍ مَّسْنُونٍ
وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِن قَبْلُ مِن نَّارِ السَّمُومِ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah
liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan
Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.”
(Al-Hijr: 26-27)
Karena jin lebih dulu ada, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan
penyebutannya daripada manusia ketika menjelaskan bahwa mereka
diperintah untuk beribadah seperti halnya manusia. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Jin, Setan, dan Iblis
Kalimat jin, setan, ataupun juga Iblis seringkali disebutkan dalam
Al-Qur`an, bahkan mayoritas kita pun sudah tidak asing lagi
mendengarnya. Sehingga eksistensinya sebagai makhluk Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak lagi diragukan, berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah serta
ijma’ ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tinggal persoalannya, apakah jin,
setan, dan Iblis itu tiga makhluk yang berbeda dengan penciptaan yang
berbeda, ataukah mereka itu bermula dari satu asal atau termasuk
golongan para malaikat?
Yang pasti, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerangkan asal-muasal penciptaan jin dengan firman-Nya:
وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِن قَبْلُ مِن نَّارِ السَّمُومِ
“Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 27)
Juga firman-Nya:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِن مَّارِجٍ مِّن نَّارٍ
“Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (Ar-Rahman: 15)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api,
dan Adam diciptakan dari apa yang disifatkan kepada kalian.” (HR.
Muslim no. 2996 dari ’Aisyah radhiallahu ‘anha)
Adapun Iblis, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentangnya:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah
kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari
golongan jin…” (Al-Kahfi: 50)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Iblis mengkhianati asal
penciptaannya, karena dia sesungguhnya diciptakan dari nyala api,
sedangkan asal penciptaan malaikat adalah dari cahaya. Maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan di sini bahwa Iblis berasal dari
kalangan jin, dalam arti dia diciptakan dari api. Al-Hasan Al-Bashri
berkata: ‘Iblis tidak termasuk malaikat sedikitpun. Iblis merupakan asal
mula jin, sebagaimana Adam sebagai asal mula manusia’.” (Tafsir
Al-Qur`anul ’Azhim, 3/94)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu mengatakan:
“Iblis adalah abul jin (bapak para jin).” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman,
hal. 406 dan 793)
Sedangkan setan, mereka adalah kalangan jin yang durhaka. Asy-Syaikh
Muqbil bin Hadi rahimahullahu pernah ditanya tentang perbedaan jin dan
setan, beliau menjawab: “Jin itu meliputi setan, namun ada juga yang
shalih. Setan diciptakan untuk memalingkan manusia dan menyesatkannya.
Adapun yang shalih, mereka berpegang teguh dengan agamanya, memiliki
masjid-masjid dan melakukan shalat sebatas yang mereka ketahui ilmunya.
Hanya saja mayoritas mereka itu bodoh.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah
Minal Jin)
Siapakah Iblis? [1]
Terjadi perbedaan pendapat dalam hal asal-usul iblis, apakah berasal dari malaikat atau dari jin.
Pendapat pertama menyatakan bahwa iblis berasal dari jenis jin. Ini
adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu. Beliau menyatakan:
“Iblis tidak pernah menjadi golongan malaikat sekejap matapun sama
sekali. Dan dia benar-benar asal-usul jin, sebagaimana Adam adalah
asal-usul manusia.” (Diriwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsir surat Al-Kahfi
ayat 50, dan dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya)
Pendapat ini pula yang tampaknya dikuatkan oleh Ibnu Katsir,
Al-Jashshash dalam kitabnya Ahkamul Qur‘an (3/215), dan Asy-Syinqithi
dalam kitabnya Adhwa`ul Bayan (4/120). Penjelasan tentang dalil pendapat
ini beliau sebutkan dalam kitab tersebut. Secara ringkas, dapat
disebutkan sebagai berikut:
1. Kema’shuman malaikat dari perbuatan kufur yang dilakukan iblis, sebagaimana firman Allah:
يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“…yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(At-Tahrim: 6)
لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُم بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ
“Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan, dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (Al-Anbiya`: 27)
2. Dzahir surat Al-Kahfi ayat 50
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah
kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari
golongan jin, lalu ia mendurhakai perintah Rabbnya.”
Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa iblis dari jin, dan jin
bukanlah malaikat. Ulama yang memegang pendapat ini menyatakan: “Ini
adalah nash Al-Qur`an yang tegas dalam masalah yang diperselisihkan
ini.” Beliau juga menyatakan: “Dan hujjah yang paling kuat dalam masalah
ini adalah hujjah mereka yang berpendapat bahwa iblis bukan dari
malaikat.”
Adapun pendapat kedua yang menyatakan bahwa iblis dari malaikat, menurut
Al-Qurthubi, adalah pendapat jumhur ulama termasuk Ibnu ‘Abbas
radhiallahu ‘anhuma. Alasannya adalah firman Allah:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah
kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”
(Al-Baqarah: 34)
Juga ada alasan-alasan lain berupa beberapa riwayat Israiliyat.
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, insya Allah, karena kuatnya dalil mereka dari ayat-ayat yang jelas.
Adapun alasan pendapat kedua (yakni surat Al-Baqarah ayat 34),
sebenarnya ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa iblis dari malaikat.
Karena susunan kalimat tersebut adalah susunan istitsna` munqathi’
(yaitu yang dikecualikan tidaklah termasuk jenis yang disebutkan).
Adapun cerita-cerita asal-usul iblis, itu adalah cerita Israiliyat.
Ibnu Katsir menyatakan: “Dan dalam masalah ini (asal-usul iblis), banyak
yang diriwayatkan dari ulama salaf. Namun mayoritasnya adalah
Israiliyat (cerita-cerita dari Bani Israil) yang (sesungguhnya)
dinukilkan untuk dikaji –wallahu a’lam–, Allah lebih tahu tentang
keadaan mayoritas cerita itu. Dan diantaranya ada yang dipastikan dusta,
karena menyelisihi kebenaran yang ada di tangan kita. Dan apa yang ada
di dalam Al-Qur`an sudah memadai dari yang selainnya dari berita-berita
itu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/94)
Asy-Syinqithi menyatakan: “Apa yang disebutkan para ahli tafsir dari
sekelompok ulama salaf, seperti Ibnu ‘Abbas dan selainnya, bahwa dahulu
iblis termasuk pembesar malaikat, penjaga surga, mengurusi urusan dunia,
dan namanya adalah ‘Azazil, ini semua adalah cerita Israiliyat yang
tidak bisa dijadikan landasan.” (Adhwa`ul Bayan, 4/120-121)
Siapakah Setan? [2]
Setan atau Syaithan alam bahasa Arab diambil dari kata yang berarti
jauh. Ada pula yang mengatakan bahwa itu dari kata yang berarti terbakar
atau batal. Pendapat yang pertama lebih kuat menurut Ibnu Jarir dan
Ibnu Katsir, sehingga kata Syaithan artinya yang jauh dari kebenaran
atau dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-Misbahul Munir, hal.
313).
Ibnu Jarir menyatakan, syaithan dalam bahasa Arab adalah setiap yang
durhaka dari jin, manusia atau hewan, atau dari segala sesuatu.
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian
mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
(Dalam ayat ini) Allah menjadikan setan dari jenis manusia, seperti
halnya setan dari jenis jin. Dan hanyalah setiap yang durhaka disebut
setan, karena akhlak dan perbuatannya menyelisihi akhlak dan perbuatan
makhluk yang sejenisnya, dan karena jauhnya dari kebaikan. (Tafsir Ibnu
Jarir, 1/49)
Ibnu Katsir menyatakan bahwa syaithan adalah semua yang keluar dari
tabiat jenisnya dengan kejelekan (Tafsir Ibnu Katsir, 2/127). Lihat juga
Al-Qamus Al-Muhith (hal. 1071).
Yang mendukung pendapat ini adalah surat Al-An’am ayat 112:
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ
يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka
membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
Aku datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berada
di masjid. Akupun duduk. Dan beliau menyatakan: “Wahai Abu Dzar apakah
kamu sudah shalat?” Aku jawab: “Belum.” Beliau mengatakan: “Bangkit dan
shalatlah.” Akupun bangkit dan shalat, lalu aku duduk. Beliau berkata:
“Wahai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan manusia
dan jin.” Abu Dzar berkata: “Wahai Rasulullah, apakah di kalangan
manusia ada setan?” Beliau menjawab: “Ya.”
Ibnu Katsir menyatakan setelah menyebutkan beberapa sanad hadits ini:
“Inilah jalan-jalan hadits ini. Dan semua jalan-jalan hadits tersebut
menunjukkan kuatnya hadits itu dan keshahihannya.” (Tafsir Ibnu Katsir,
2/172)
Yang mendukung pendapat ini juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Muslim:
“Anjing hitam adalah setan.”
Ibnu Katsir menyatakan: “Maknanya –wallahu a’lam– yaitu setan dari jenis anjing.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Ini adalah pendapat Qatadah, Mujahid dan yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Asy-Syaukani dan Asy-Syinqithi.
Dalam masalah ini ada tafsir lain terhadap ayat itu, tapi itu adalah pendapat yang lemah. (ed)
Ketika membicarakan tentang setan dan tekadnya dalam menyesatkan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالَ أَنظِرْنِي إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
قَالَ إِنَّكَ مِنَ الْمُنظَرِينَ
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ
ثُمَّ
لَآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ
أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Iblis menjawab: ‘Beri tangguhlah aku sampai waktu mereka
dibangkitkan’, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang
diberi tangguh.’ Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukumiku
tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan
Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan
dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan
mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 14-17)
Setan adalah turunan Iblis, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ
“Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin
selain-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai
pengganti (Allah) bagi orang-orang yang dzalim.” (Al-Kahfi: 50)
Turunan-turunan Iblis yang dimaksud dalam ayat ini adalah setan-setan. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 453)
Penggambaran Tentang Jin
Al-jinnu berasal dari kata janna syai`un yajunnuhu yang bermakna
satarahu (menutupi sesuatu). Maka segala sesuatu yang tertutup berarti
tersembunyi. Jadi, jin itu disebut dengan jin karena keadaannya yang
tersembunyi.
Jin memiliki roh dan jasad. Dalam hal ini, Syaikhuna Muqbil bin Hadi
rahimahullahu mengatakan: “Jin memiliki roh dan jasad. Hanya saja mereka
dapat berubah-ubah bentuk dan menyerupai sosok tertentu, serta mereka
bisa masuk dari tempat manapun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kepada kita agar menutup pintu-pintu sembari beliau
mengatakan: ‘Sesungguhnya setan tidak dapat membuka yang tertutup’.
Beliau memerintahkan agar kita menutup bejana-bejana dan menyebut nama
Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Demikian pula bila seseorang masuk ke
rumahnya kemudian membaca bismillah, maka setan mengatakan: ‘Tidak ada
kesempatan menginap’. Jika seseorang makan dan mengucapkan bismillah,
maka setan berkata: ‘Tidak ada kesempatan menginap dan bersantap
malam’.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
Jin bisa berujud seperti manusia dan binatang. Dapat berupa ular dan
kalajengking, juga dalam wujud unta, sapi, kambing, kuda, bighal,
keledai dan juga burung. Serta bisa berujud Bani Adam seperti waktu
setan mendatangi kaum musyrikin dalam bentuk Suraqah bin Malik kala
mereka hendak pergi menuju Badr. Mereka dapat berubah-ubah dalam bentuk
yang banyak, seperti anjing hitam atau juga kucing hitam. Karena warna
hitam itu lebih signifikan bagi kekuatan setan dan mempunyai kekuatan
panas. (Idhahu Ad-Dilalah, hal. 19 dan 23)
Kaum jin memiliki tempat tinggal yang berbeda-beda. Jin yang shalih
bertempat tinggal di masjid dan tempat-tempat yang baik. Sedangkan jin
yang jahat dan merusak, mereka tinggal di kamar mandi dan tempat-tempat
yang kotor. (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
Tulang dan kotoran hewan adalah makanan jin. Di dalam sebuah hadits,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu:
“Carikan beberapa buah batu untuk kugunakan bersuci dan janganlah
engkau carikan tulang dan kotoran hewan.” Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
berkata: “Aku pun membawakan untuknya beberapa buah batu dan kusimpan
di sampingnya. Lalu aku menjauh hingga beliau menyelesaikan hajatnya.”
Aku bertanya: “Ada apa dengan tulang dan kotoran hewan?”
Beliau menjawab: “Keduanya termasuk makanan jin. Aku pernah didatangi
rombongan utusan jin dari Nashibin, dan mereka adalah sebaik-baik jin.
Mereka meminta bekal kepadaku. Maka aku berdoa kepada Allah untuk mereka
agar tidaklah mereka melewati tulang dan kotoran melainkan mereka
mendapatkan makanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3860 dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu, dalam riwayat Muslim disebutkan: “Semua tulang yang
disebutkan nama Allah padanya”, ed)
Gambaran Tentang Iblis dan Setan
Iblis adalah wazan dari fi’il, diambil dari asal kata al-iblaas yang
bermakna at-tai`as (putus asa) dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka adalah musuh nomer wahid bagi manusia, musuh bagi Adam dan
keturunannya. Dengan kesombongan dan analoginya yang rusak serta
kedustaannya, mereka berani menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala
saat mereka enggan untuk sujud kepada Adam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah
kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia enggan dan
takabur, dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”
(Al-Baqarah: 34)
Malah dengan analoginya yang menyesatkan, Iblis menjawab:
أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
“Aku lebih baik darinya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf: 12)
Analogi atau qiyas Iblis ini adalah qiyas yang paling rusak. Qiyas ini
adalah qiyas batil karena bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang menyuruhnya untuk sujud. Sedangkan qiyas jika berlawanan
dengan nash, maka ia menjadi batil karena maksud dari qiyas itu adalah
menetapkan hukum yang tidak ada padanya nash, mendekatkan sejumlah
perkara kepada yang ada nashnya, sehingga keberadaannya menjadi pengikut
bagi nash.
Bila qiyas itu berlawanan dengan nash dan tetap digunakan/ diakui, maka
konsekuensinya akan menggugurkan nash. Dan inilah qiyas yang paling
jelek!
Sumpah mereka untuk menggoda Bani Adam terus berlangsung sampai hari
kiamat setelah mereka berhasil menggoda Abul Basyar (bapak manusia) Adam
dan vonis sesat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mereka. Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita dengan firman-Nya:
يَا
بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم
مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا
سَوْآتِهِمَا ۗ إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا
تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا
يُؤْمِنُونَ
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan
sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia
menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya
auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari
suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami
telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang
tidak beriman.” (Al-A’raf: 27)
Karena setan sebagai musuh kita, maka kita diperintahkan untuk menjadi musuh setan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia
musuhmu, karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya
supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ
“Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin
selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu
sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang dzalim.” (Al-Kahfi: 50)
Semoga kita semua terlindung dari godaan-godaannya.
Wal ’ilmu ’indallah.
Footnote:
1. Tambahan dari redaksi
2. Tambahan dari redaksi
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf, judul asli
Perbedaan Antara Jin, Setan dan Iblis. Url sumber
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=349)
Malaikat, Manusia dan Jin Tidak Dapat Mengetahui yang Ghaib
Istilah “penampakan” kian akrab di telinga masyarakat kita
akhir-akhir ini. Bagaimana pandangan syariat menyoroti hal ini?
Bagaimana pula dengan keyakinan bahwa sebagian manusia bisa mengetahui
hal-hal ghaib? Simak bahasan berikut!
Mempercayai hal-hal yang ghaib merupakan salah satu syarat dari benarnya keimanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الم
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya,
petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada
yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang
Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab
(Al-Qur`an) yang diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu. Serta mereka yakin akan adanya (kehidupan)
akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka,
dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 1-5)
Ghaib adalah segala sesuatu yang tersembunyi dan tidak terlihat oleh
manusia, seperti surga, neraka dan apa yang ada di dalamnya, alam
malaikat, hari akhir, alam langit dan yang lainnya yang tidak bisa
diketahui manusia kecuali bila ada pemberitaan dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala. (Lihat Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/53)
Alam jin dan wujud jin dalam bentuk asli seperti yang telah Allah
Subhanahu wa Ta’ala ciptakan adalah ghaib bagi kita. Namun golongan jin
dapat berubah-ubah bentuk –dengan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala–
dan amat mungkin bagi mereka melakukan penampakan, sehingga kita dapat
melihatnya dalam wujud yang bukan aslinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ
“Sesungguhnya ia (setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari
suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (Al-A’raf: 27)
Dari Abu As-Sa`ib, maula Hisyam bin Zuhrah, beliau bercerita bahwa
dirinya pernah berkunjung ke rumah Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu
‘anhu, katanya: “Aku mendapatinya tengah mengerjakan shalat, akupun
duduk menunggunya hingga beliau selesai. Tiba-tiba aku mendengar adanya
gerakan pada bejana tempat minum yang ada di pojok rumah. Aku menoleh ke
arahnya dan ternyata ada seekor ular. Aku segera meloncat untuk
membunuhnya, namun Abu Sa’id memberi isyarat kepadaku agar aku duduk.
Ketika ia selesai dari shalatnya, ia menunjuk ke sebuah rumah yang ada
di kampung itu sambil berkata: ‘Apakah engkau lihat rumah itu?’ ‘Ya,’
jawabku. Ia kemudian menuturkan, ‘Dahulu yang tinggal di rumah itu
adalah seorang pemuda yang baru saja menjadi pengantin. Kala itu kami
berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Khandaq
dan pemuda itupun ikut bersama kami. Saat tengah hari, pemuda itu
meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
pulang menemui istrinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengizinkannya sambil berpesan: ‘Bawalah senjatamu karena aku khawatir
engkau bertemu dengan orang-orang dari Bani Quraidhah.’ Pemuda itu
mengambil senjatanya, kemudian pulang menemui istrinya. Setibanya di
rumah, ternyata istrinya sedang berdiri diantara dua daun pintu. Ia
mengarahkan tombaknya kepada istrinya untuk melukainya karena merasa
cemburu karena istrinya berada di luar rumah. Istrinya berkata
kepadanya: “Tahan dulu tombakmu, dan masuklah ke dalam rumah sehingga
engkau akan tahu apa yang menyebabkan aku sampai keluar rumah!”
Pemuda itu masuk, dan ternyata terdapat seekor ular besar yang melingkar
di atas tempat tidur. Pemuda itu lantas menghunuskan tombaknya dan
menusukkannya pada ular tersebut. Setelah itu, ia keluar dan menancapkan
tombaknya di dinding rumah. Ular itu (yang belum mati, red.)
menyerangnya dan terjadilah pergumulan dengan ular tersebut. Tidak
diketahui secara pasti mana diantara keduanya yang lebih dahulu mati,
ular atau pemuda itu.’
Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu melanjutkan ceritanya: ‘Kami menghadap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan kejadian itu
kepadanya dan kami sampaikan kepada beliau: ‘Mohonlah kepada Allah agar
menghidupkannya demi kebahagiaan kami.’ Beliau menjawab: ‘Mohonlah ampun
untuk shahabat kalian itu!’
Selanjutnya beliau bersabda: ‘Sesungguhnya di Madinah terdapat golongan
jin yang telah masuk Islam, maka jika kalian melihat sebagian mereka
–dalam wujud ular– berilah peringatan tiga hari. Dan apabila masih
terlihat olehmu setelah itu, bunuhlah ia, karena sebenarnya dia adalah
setan.” (HR. Muslim no. 2236 dan 139 dari Abu Sa`ib, maula Hisyam bin
Zuhrah) [3]
Para Rasul Tidak Mengetahui yang Ghaib
Telah disebutkan sebelumnya bahwa sekumpulan jin datang kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mendengarkan bacaan Al-Qur`an.
Ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui kehadiran
mereka kecuali setelah sebuah pohon memberitahunya –dan Allah Subhanahu
wa Ta’ala Maha Kuasa untuk menjadikan pohon dapat berbicara– seperti
yang disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari shahabat Ibnu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui
perkara ghaib kecuali yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala kabarkan.
(Nashihati li Ahlis Sunnah Minal Jin)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُل
لَّا أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ
إِلَيَّ ۚ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا
تَتَفَكَّرُونَ
“Katakanlah: ‘Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan
Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak
pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak
mengetahui kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’ Katakanlah: ‘Apakah
sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak
memikirkannya?” (Al-An’am: 50)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
قُل
لَّا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ
وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا
مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan
tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan
sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak
lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman’.” (Al-A’raf: 188)
Para Malaikat Tidak Mengetahui yang Ghaib
Kendatipun para malaikat adalah mahluk yang dekat di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala, namun untuk urusan ghaib ternyata mereka pun tidak
mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman saat pertama kali
hendak menciptakan manusia:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ
قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ
مَا لَا تَعْلَمُو
وَعَلَّمَ
آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ
فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Dan ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat:
‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’
Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu
tidak ketahui.’ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana’.”
(Al-Baqarah: 30-32)
Kaum Jin Tidak Mengetahui yang Ghaib
Banyak sekali orang yang tertipu dan keliru kemudian mengira jika
bangsa jin mengetahui yang ghaib, terutama bagi mereka yang terjun dalam
kancah sihir dan perdukunan. Akibatnya, kepercayaan dan ketergantungan
mereka terhadap jin sangatlah besar sehingga menggiring mereka kepada
kekufuran.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tegas telah mementahkan anggapan ini dalam firman-Nya:
فَلَمَّا
قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَىٰ مَوْتِهِ إِلَّا
دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنسَأَتَهُ ۖ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ
الْجِنُّ أَن لَّوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي
الْعَذَابِ الْمُهِينِ
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang
menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan
tongkatnya. Maka tatkala ia tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau
sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam
siksa yang menghinakan.” (Saba`: 14)
Manusia Tidak Dapat Mengetahui Alam Ghaib
Jika para rasul yang merupakan utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
menyampaikan syariat-Nya kepada manusia tidak mengetahui hal yang ghaib
sedikitpun, maka sudah tentu manusia secara umum tidak ada yang dapat
mengetahui alam ghaib atau menjangkau batasan-batasannya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala hanya memerintahkan agar mengimani perkara yang
ghaib dengan keimanan yang benar.
Keyakinan seperti ini agaknya sudah mulai membias. Apalagi saat ini
banyak sekali orang yang menampilkan dirinya sebagai narasumber untuk
urusan-urusan yang ghaib, mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait
dengan masa depan seseorang, dari mulai jodoh, karir, bisnis, atau yang
lainnya.
Kata ‘dukun’ barangkali sekarang ini jarang didengar dan bahkan serta
merta mereka akan menolak bila dikatakan dukun. Dalihnya, apalagi kalau
bukan seputar “Kami tidak meminta syarat-syarat apapun kepada anda”,
“Kami tidak menyuruh memotong ayam putih”, dan sebagainya. Padahal
praktek seperti itu adalah praktek dukun juga. Bedanya, dukun sekarang
ini berpendidikan sehingga bahasa yang digunakannya pun bahasa-bahasa
ilmiah, sehingga mereka jelas enggan disebut dukun.
Tak ada seorang pun yang dapat melihat dan mengetahui perkara ghaib,
menentukan ini dan itu terhadap sesuatu yang belum dan akan terjadi di
masa datang. Jika toh bisa, itu semata-mata bantuan dan tipuan dari
setan, sehingga dusta bila itu dihasilkan dari latihan dan olah jiwa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ صَدَّقَ عَلَيْهِمْ إِبْلِيسُ ظَنَّهُ فَاتَّبَعُوهُ إِلَّا فَرِيقًا مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
وَمَا
كَانَ لَهُ عَلَيْهِم مِّن سُلْطَانٍ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يُؤْمِنُ
بِالْآخِرَةِ مِمَّنْ هُوَ مِنْهَا فِي شَكٍّ ۗ وَرَبُّكَ عَلَىٰ كُلِّ
شَيْءٍ حَفِيظٌ
“Dan sesungguhnya Iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya
terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian
orang-orang yang beriman. Dan tidak adalah kekuasaan Iblis terhadap
mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman
kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang hal
itu. Dan Rabbmu Maha Memelihara segala sesuatu.” (Saba`: 20-21)
Ada pula sebagian manusia yang memiliki aqidah rusak, di mana mereka
meyakini adanya sebagian orang yang keberadaannya ghaib dari pandangan
manusia, dan biasanya identik dengan orang-orang yang dianggap telah
suci jiwanya. Mereka mengistilahkannya dengan roh suci atau rijalul
ghaib.
Ketahuilah bahwa tidak ada istilah manusia ghaib. Tidak ada pula istilah
rijalul ghaib di tengah-tengah manusia. Rijalul ghaib itu tiada lain
adalah jin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6) (Lihat Qa’idah
‘Azhimah, hal. 152)
Alam ghaib tetaplah ghaib, sesuatu yang tidak bisa diketahui dan
dilihat manusia kecuali apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala
beritakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا
إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dia adalah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada
rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan
penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
Kunci-kunci Ghaib adalah Milik Allah Subhanahu wa Ta’ala Semata
Sesungguhnya tak ada seorangpun yang mengetahui perkara ghaib dan
hal-hal yang berhubungan dengannya, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah banyak menegaskan hal ini dalam
Al-Qur`an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang
mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak
mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا
فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا
تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang
Hari Kiamat, dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang
ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan
pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang
dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
ذَٰلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
“Yang demikian itu ialah Rabb Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (As-Sajdah: 6)
Dalam ayat lainnya:
قَالَ
يَا آدَمُ أَنبِئْهُم بِأَسْمَائِهِمْ ۖ فَلَمَّا أَنبَأَهُم
بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ
تَكْتُمُونَ
“Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?’.” (Al-Baqarah: 33)
Banyak sekali dalil-dalil yang berhubungan dengan masalah ini. Namun
mungkin yang disebutkan di sini, sudah dapat mewakili bahwa Allah-lah
yang mengetahui hal ihwal alam ghaib. Sedangkan manusia, tak ada yang
bisa mengetahui dan melihatnya kecuali apa-apa yang telah Allah
Subhanahu wa Ta’ala kuasakan.
Mudah-mudahan semua uraian-uraian di atas bermanfaat bagi kita semua. Amin yaa Mujiibas sa`iliin.
Wal ’ilmu ‘indallah.
Footnote:
1. Terjadi perbedaan pendapat dalam hal membunuh ular yang berada di
rumah. Sebagian ulama berpendapat bahwa pemberian peringatan terlebih
dahulu itu hanya berlaku di Madinah, adapun di tempat selainnya bisa
langsung dibunuh. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik, dan yang dikuatkan
oleh Al-Maziri. Sebagian yang lain berpendapat bahwa pemberian
peringatan terlebih dahulu bersifat umum, bukan hanya di Madinah.
Kecuali ular Al-Abtar yakni yang berekor pendek dan Dzu Thufyatain, yang
mempunyai dua garis lurus berwarna putih di punggungnya, boleh langsung
dibunuh walaupun di rumah. (ed)
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf, judul asli
Malaikat, Manusia dan Jin Tidak Dapat Mengetahui yang Ghaib. Url sumber
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=351)